Aqqil adalah panggilan kesayanganku untuknya, artinya berakal alias cerdas. Raqqil Mahfudza Hayat, adalah lengkapnya. Nama yang aku berikan untuk buah hatiku, setelah perdebatan panjang kali lebar kali tinggi dengan suamiku, kami menyepakati nama ini (dengan setengah paksaan dariku kepada suamiku). Dalam namanya, kami berdoa agar dalam hidupnya ia selalu diridhoi Allah untuk menebar kebaikan. Semoga Allah mengabulkan doa kami berdua.
Kehamilan pertamaku, seperti kehamilan pertama ibu lainnya, menjadi pengalaman tak terlupakan. Padahal dulu pada awal pernikahan, aku tak ingin langsung punya anak karena merasa belum siap untuk menjadi seorang ibu. Aku ingin menunda kehamilanku dan menghabiskan setahun atau dua tahun berdua dengan suamiku, karena sebelumnya kami tidak berpacaran. Semacam honeymoon dulu lah kalo boleh dibilang. Sementara suamiku pengen segera menimang anak, dan ia takut jika kita menunda kehamilan, malah nanti akan susah untuk punya anak.
Dan ternyata Allah menunjukkan kehendak-Nya. Selang empat bulan dari hari pernikahanku pada Desember 2008, aku merasakan mual yang terus menerus di pagi hari. Harap-harap cemas, aku mencoba memakai testpack untuk mengetahui apakah benar aku hamil atau tidak. Rasanya ingin melonjak kegirangan ketika di dalam kamar mandi, garis merah di testpack itu ada dua. Aku positif!
Entah senang karena ini adalah hal yang diinginkan suamiku, atau senang karena aku mulai bosan ditanya oleh semua orang sudah hamil atau belum, tapi aku benar-benar excited mengetahui ada mahluk super mungil di dalam tubuhku. Sambil tak dapat menahan senyum, aku keluar kamar mandi dan menunjukkan hasil testpack itu kepada suamiku. Suamiku berucap keras, Alhamdulillah, sambil ikut tersenyum lebar. Tokcer!
Untuk menambah keyakinan kita berdua, kita datang ke salah seorang dokter kandungan senior di RS Budi Jaya di daerah Tebet. Sang dokter, tanpa ekspresi, menyatakan bahwa aku sudah hamil 8 minggu, dan sudah terlihat embrio sebesar biji kacang dalam kantung kehamilanku. Karena udah begitu seringnya kali ya ni dokter periksa ibu hamil, sampai nggak ada ekspresinya sama sekali.
Setelah tahu ada calon bayi dalam perutku, kujalani hari dengan sebaik-baiknya, sekuat tenaga dan daya upaya agar ia bisa terlahir dengan sehat dan selamat. Kebiasaanku pun terpaksa berubah. Mulai bawel kalau ada orang yang merokok di dekatku, banyak makan buah dan sayur (lebih banyak buah sih daripada sayur), mati-matian nggak makan indomie (walaupun beberapa kali kecolongan karena suamiku suka 'ngabibita' makan indomie tengah malem), mati-matian berusaha minum susu ibu hamil yang rasanya menurutku bikin mual, minum serentetan vitamin DHA dan kalsium, dengerin musik klasik, banyak sholat ngaji dan berdoa. Pokoknya semua kegiatan yang 'kata orang' seharusnya dilakukan oleh ibu hamil.
Dan luar biasa bahagianya suamiku, ketika hasil USG menunjukkan bahwa jabang bayi yang kukandung ini berkelamin laki-laki. Ia dengan bangganya mengakui bahwa Allah memang Maha Baik karena telah mengabulkan permintaannya bahwa ia menginginkan anak pertamanya seorang laki-laki. Aku sih senyum-senyum saja melihat tingkahnya yang jadi seperti anak-anak baru dibelikan mainan. Laki-laki atau perempuan yang penting dia sehat, kalo menurutku dalam hati. Lagian, ini juga baru anak pertama, apa aja nggak masalah.
Tapi ternyata, selain hasil USG yang menduga kalau anakku laki-laki, tanda-tanda lain juga muncul pada tubuhku. Kalau kata orang (lagi), biasanya hamil anak laki-laki itu bikin ibu tampak lebih jelek dari biasanya. Si ibu males mandi, males dandan, males ngapa-ngapain. Daaaan, itu memang terjadi padaku. Aku dengan luar biasanya males sekali mandi, sehari sekali juga udah alhamdulillah. Jerawat mulai muncul di sekitar wajah dan tubuhku, dan aku cuma bisa pasrah karena kata ibuku itu pengaruh homon kehamilan. Kulit di sekitar wajah leher dan perut juga terlihat menghitam, sekitar muka (bibir dan hidung) membengkak, bahkan kaki pun bisa ikut membengkak. Percaya atau tidak, setiap aku mau berdandan memakai bedak, make-up itu seperti nggak mau menempel di kulit wajahku. Alhasil aku jadi seperti lenong. Suamiku sampai kasihan melihat kondisiku. Yah, persis seperti itulah yang terjadi padaku. Jauh dari kata 'cantik'!! (Dari sononya emang nggak cantik-cantik banget, jadi implikasinya signifikan, hehe). Tapi aku tetap sabar menjalani hari-hari buruk rupa itu, demi cinta dalam rahimku. Kata orang (lagi-lagi), nanti penampilan mengerikan itu akan kembali pada kondisi normalnya.
Tapi harus kuakui, selain perubahan fisik yang mengalami downgrade, kehamilanku sebenarnya sangat tidak bermasalah. Padahal, ibuku sudah khawatir aku akan bermasalah -harus bedrest dan sebagainya- pada saat hamil, seperti yang dia alami saat mengandung anaknya dulu (aku maksudnya,hehe). Alhamdulillah, aku cuma mengalami 'ngidam' dua kali. Pertama, saat aku belum tau bahwa aku hamil. Ketika itu aku sangat amat ingin minum jus buah. Melihat didalam kulkas hanya ada tomat, akhirnya aku dengan sangat tidak biasa membuat jus tomat yang menurutku sangat lezat. Kedua, saat kandunganku berumur 4 bulan, aku yang sebelumnya tidak suka, tiba-tiba sangat mengidamkan gulai kepala ikan kakap. Aku kemudian makan satu porsi kepala ikan kakap di rumah makan padang 'Simpang Raya'. Satu porsi habis olehku sendiri, dan suamiku cuma bengong melihat istrinya tiba-tiba begitu doyan gulai kepala kakap. Aku baru tahu, ternyata ngidam itu memang bener-bener ada.
Drama buruk rupa yang merundung pada masa kehamilan pertama ini rupanya belum cukup. Pada bulan ketujuh, aku tiba-tiba terkena sakit cacar. Aku yakin, virus cacar ini menular ketika aku pergi medical check-up ke sebuah RS Umum, dan mungkin duduk sebelahan dengan pasien cacar yang baru sembuh. Dari kecil, aku memang belum pernah sakit cacar, dan mungkin aku harus merasakan juga sakit cacar ini sekali dalam hidupku. Namun, entah mengapa cacar itu datang pada saat yang sangat tidak tepat, saat sedang hamil besar. Aku sempat khawatir karena virus cacar itu bisa juga membahayakan janinku, terlebih aku harus minum obat yang agak keras untuk melawan virus cacar itu. Akhirnya aku mengungsi kerumah ibuku di bandung selama dua minggu, untuk menyembuhkan gatal-gatal dan panas di seluruh kulitku. Sembari berdoa semoga janinku tidak terkena pengaruhnya.
Bulan kesembilan tiba, dan aku sudah bersiap-siap cuti dari kantor. Aku berencana melahirkan di Bandung, sehingga seminggu sebelum duedate aku pulang ke rumah Ibu dan menunggu tanda-tanda mules itu datang. Seminggu diam dirumah, menjelang umur kehamilan 40, belum ada tanda-tanda mules atau kontraksi. Pernah ia datang sekali, tapi setelah itu tak muncul lagi. Itu yang disebut dokter sebagai kontraksi palsu. Ibu dan suamiku terus menyemangatiku untuk rajin berjalan kaki, banyak bergerak, jongkok dan mengepel lantai. Setiap pagi, aku dengan semangat terus berjalan cepat di taman kompleks, senam hamil, sambil merasa-rasa apakah mules itu akan datang. Karena sudah masuk minggu ke-40, aku berkonsultasi dengan dokterku dan mengutarakan kecemasanku. Dokterku bilang kita tunggu lagi 1 minggu karena air ketubanku masih cukup dan baik. Ia menyarankanku untuk sering berhubungan dengan suamiku. Tapi apa daya, suamiku sendiri juga nggak tega untuk melakukan ritual denganku yang berbadan seperti ikan paus, hahaha. Dokter juga memberika obat perangsang mules yang katanya bisa diminum sehari sebelum kehamilanku memasuki 41 minggu. Kalau sampai minggu depan tidak ada mules juga, maka dokter akan mengambil tindakan induksi ataupun operasi cesar jika diperlukan. Duh, ketar-ketir banget deh aku ini. Ayo, nak, jangan terlalu betah di dalam perut bunda ya.
Beberapa hari setelah kontrol ke dokter, aku masih menyempatkan diri nonton bioskop di mall. Aku ingat, film yang kutonton adalah film 2012 yang waktu itu heboh dengan praduga kiamat itu. Hari itu adalah hari senin, dua hari sebelum kehamilanku masuk 41 minggu. Aku meminta izin suamiku untuk meminum obat perangsang mules itu, tapi suamiku menyuruhku menundanya hingga hari rabu, karena ia ingin anaknya tidak lahir di hari selasa (katanya orang yang lahir di hari selasa itu agak keras kepala). Hingga akhirnya waktu tiba pada rabu istimewa itu. Aku dan suami sudah memantapkan hati, jika sampai sore ini aku tidak mules juga, aku akan meminum obat perangsang mules itu. Pagi hingga siang, semua berjalan seperti biasa. Aku masih bisa tidur siang, walaupun entah kenapa aku merasa tidak enak perut. Aku baru menyadari belakangan, mungkin itulah yang dinamakan awal-awal kontraksi.
Jam enam tepat, sebelum maghrib, aku masih sempat menyantap makan malam buatan ibuku. (Alhamdulillan, makanan ini jadi bekal tenaga). Setelah makan, aku meminum obat perangsang mules itu. Dengan harapan besok pagi aku sudah merasakan mules itu. Tapi ternyata, mules itu datang lebih cepat dari dugaan. Setengah jam kemudian, tiba-tiba perutku terasa melilit, rasanya seperti cucian yang diperas sekuat tenaga. Sakit sekali. Beberapa kali aku bolak-balik ke kamar mandi, karena kupikir aku ingin buang air besar. Tapi percuma, di kamar mandi pun aku tidak bisa menghilangkan mules ini. Aku bilang pada ibuku bahwa perutku sudah terasa mules banget, mungkin inilah sang kontraksi itu. Tapi ibuku dengan santainya bilang bahwa ini masih kontraksi awal, dan biasanya hal ini akan berlangsung lama, bahkan bisa belasan jam. Akupun kemudian berusaha santai walaupun peraasaan mules itu sungguh tak tertahan. Malah, aku masih sempat memberitahu ibuku cara update status di facebook.
Ibuku bilang, biasanya kontraksi awal itu terjadi setiap 3 atau 4 jam sekali, hingga kemudian bertambah tinggi intensitasnya menjadi 1 jam sekali, hingga nanti pada akhirnya menjadi 5 menit sekali. Namun yang kurasakan sungguh berbeda. Aku langsung merasakan kontraksi hebat itu hampir setiap lima menit sekali. Bahkan lima belas menit kemudian, flek darah sudah keluar. Ibuku keheranan, masak iya sih udah 5 menit sekali? Iya mah, sumpah deh ini sakitnya udah 5 menit sekali. Lagian ngapain juga ya aku bohong? heuheu..
Berdasar petuah dari mertuaku, jangan pergi ke Rumah Sakit sebelum ada flek darah yang keluar. Kemudian, aku putuskan menelefon mertuaku dan melaporkan keadaan, bahwa flek darah sudah mulai keluar. Mertuaku kemudian menyarankan untuk berangkat ke Rumah Sakit, katanya mungkin beberapa jam lagi kamu akan melahirkan. Saat itu sekitar jam setengah tujuh, kita putuskan untuk segera ke RS saat itu juga. Namun sayang, mobil dirumahku sedang dipakai adikku kuliah. Dan butuh waktu satu jam lagi hingga ia tiba di rumah. Ibuku seketika panik, bingung, berjalan gusar kesana kemari. "Udah, mama jangan panik. Aku yang mau ngelahirin aja, santai." Ujarku sesaat sebelum pergi ke RS, sambil cengengesan.
Akhirnya aku memutuskan mengikuti usul suamiku untuk berjalan ke Rumah Sakit yang berjarak 500m dari rumahku. Aku berjalan perlahan, dituntun oleh suamiku yang sudah siap menemaniku sejak seminggu lalu. Hampir setiap tiga menit sekali, perutku dirundung sakit yang sangat melilit. Sakitnya seratus kali lipat dari sakut perut saat menstruasi yang menurutku sebelumnya sudah sangat sakit itu. Dan setiap kali sakit itu datang, aku berhenti berjalan, terjongkok menahan sakit. Terbayanglah, berapa lama yang kubutuhkan untuk sampai di RS yang sebenarnya dekat itu. Tetanggaku yang baru pulang melihatku dan menawarkan untuk mengantarku ke RS, namun aku menolak karena aku tak ingin merepotkan. Beberapa langkah lagi aku berjalan, sakitnya semakin menjadi. Beruntunglah, ada seorang tukang becak yang lewat. Sehingga akhirnya kami berdua naik becak ke RS tersebut.
Sampai di depan pintu RS, aku mengaduh sembari menahan sakit. Sang suster tersenyum simpati, ia menyambutku dengan membawa kursi roda dan menyuruhku duduk di situ. Ia mendorongku ke ruang persalinan sembari mengingatkan bahwa ini masih awal, jadi aku harus sabar, karena semakin lama pasti akan semakin sakit. Aku cuma diam meringis kesakitan. Sampai di ruang persalinan, kemudian ia menyuruhku berbaring untuk memeriksa pembukaan leher rahimku, ini dinamakan pembukaan dalam. Aku kaget sekali karena suster itu memasukkan jarinya ke leher rahimku, dan rasanya ngilu-ngilu gimana gitu. Alangkah terkejutnya suster itu, karena ternyata pembukaanku sudah masuk di angka 8cm, alias pembukaan 8, dua tahap sebelum pembukaan penuh. Yang artinya, tak lama lagi bayiku akan lahir. Ia mengaku biasanya orang-orang baru pembukaan 1, 2 atau 3 saat pertama kali masuk RS. Apalagi, ini persalinan anak pertamaku. Ia kemudian dengan sigap memberi tahu suster lainnya untuk bersiap-siap karena sebentar lagi aku akan melahirkan. Ia mengganti pakaianku dan memperingatkanku untuk tidak mengejan sebelum bukaan lengkap. Ia juga menyuruhku tidur menyamping supaya proses pembukaan menjadi lebih cepat.
Saat itu, detik demi detik merambat sangat lambat. Sakit yang luar biasa aku rasakan di sekitar perut, pinggang, punggung dan selangkanganku. Aku merasa bayiku sudah mendorong keluar dengan begitu dahsyatnya. Aku pun sudah tak sanggup menahan sakitnya, sehingga aku beberapa kali mengejan walaupun belum waktunya. Tiga menit sekali, gelombang sakit itu datang. Setelah dua puluh hingga tiga puluh menit paling melelahkan, suster kembali datang dan mengecek pembukaanku. Kemudian ia mengatakan bahwa aku sudah siap dengan bukaan lengkap. Suster segera memanggil dokter. Sementara aku masih menahan sakit dengan menjepitkan jari-jari tanganku di ranjang. Hatiku tak henti mengucap doa dan memohon pertolongan, walaupun mulutku terkatup rapat nyaris tanpa suara. Suamiku menunggu diluar, ia tak tahan melihatku yang bersimbah darah (ceile udah kaya lagi adegan film kolosal), sementara ibuku yang baru datang memegang tanganku sembari menyemangatiku.
Dokter dihadapanku telah bersiap. Aku merasakan dorongan yang sangat kuat dari dalam rahimku, seolah-olah jabang bayi ini ingin segera keluar. Pada saat itulah, dokter berkata bahwa ia telah melihat kepala bayiku, dan menyuruhku untuk mendorong bayi keluar. Dorongan pertama belum berhasil. Karena tiba-tiba rasa itu hilang, dan dokter menyuruhku untuk berhenti mendorong. Aku meraih nafas. Tak lama, aku merasakan dorongan itu lagi. Tentunya kesempatan kali ini tak kulewatkan sia-sia. Aku mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong kepala bayiku yang cukup besar menurut dokter. Namun masih belum berhasil. Dokter mengingatkanku untuk tidak terpejam saat mengejan, khawatir akan berakibat pada kerusakan syaraf mata. Ia meminta izinku untuk menggunting sedikit jalan lahir untuk bayiku, karena aku masih kesulitan mengeluarkan kepala bayiku. Dokter khawatir aku akan kehabisan tenaga. Terdengar bunyi krek seperti orang sedang menggunting kain, tapi aku tidak merasakan apa-apa. Dokter juga menyuruh ibuku untuk membantu mendorong bayi dalam perutku, dan aku disuruh mengatur nafas. Ketika mules itu datang lagi, dokter menyuruhu mengejan dengan lebih keras, mengatupkan mulut dan membuka mataku. Dan, aku berhasil! Seketika kepala bayiku keluar, suster menyuruhku bernafas pendek-pendek untuk membiarkan tubuh bayiku keluar. Tidak sesulit sebelumnya, tubuh bayiku terasa lembek dan kenyal seperti agar-agar.
Seketika dokter mengangkat bayiku, dan mengatakan selamat karena bayiku sehat, seketika hatiku langsung dihempas gelombang bahagia penuh syukur dan haru yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku merasa begitu bersyukur atas kebaikan yang diberikan Allah SWT padaku dan anakku. Masih tak percaya bahwa akhirnya aku telah dipercaya menjadi seorang ibu. Saat melihat wajahnya yang mungil dan tanpa dosa, aku terharu sekali, ternyata aku mampu menjadi seorang ibu. Dan saat itu juga aku langsung ingin memeluk ibuku, mengucapkan terima kasih karena sekarang aku baru tau perjuangan seorang ibu saat melahirkan.
Suster kemudian menaruh bayiku tepat di atas dadaku. Kami dekat sekali. Matanya seolah memandangiku dan mengatakan halo, bunda. Ia kemudian mengemut tangan mungilnya sambil terus memandangiku. Ah, tak akan mungkin aku lupa tatapan mata pertamanya, betapa aku jatuh cinta. Tatapan indahnya meluluhkan hatiku, yang membuatku berjanji untuk selalu menjadi yang terbaik baginya. Mulut mungilnya kemudian mulai mengecap dan mencari-cari sumber susunya. Cintaku telah terlahir penuh kasih.
Takkan terlupakan. Bandung, 18 November2009. 20.30 WIB.
(Jakarta, 11 Maret 2011)
Kehamilan pertamaku, seperti kehamilan pertama ibu lainnya, menjadi pengalaman tak terlupakan. Padahal dulu pada awal pernikahan, aku tak ingin langsung punya anak karena merasa belum siap untuk menjadi seorang ibu. Aku ingin menunda kehamilanku dan menghabiskan setahun atau dua tahun berdua dengan suamiku, karena sebelumnya kami tidak berpacaran. Semacam honeymoon dulu lah kalo boleh dibilang. Sementara suamiku pengen segera menimang anak, dan ia takut jika kita menunda kehamilan, malah nanti akan susah untuk punya anak.
Dan ternyata Allah menunjukkan kehendak-Nya. Selang empat bulan dari hari pernikahanku pada Desember 2008, aku merasakan mual yang terus menerus di pagi hari. Harap-harap cemas, aku mencoba memakai testpack untuk mengetahui apakah benar aku hamil atau tidak. Rasanya ingin melonjak kegirangan ketika di dalam kamar mandi, garis merah di testpack itu ada dua. Aku positif!
Entah senang karena ini adalah hal yang diinginkan suamiku, atau senang karena aku mulai bosan ditanya oleh semua orang sudah hamil atau belum, tapi aku benar-benar excited mengetahui ada mahluk super mungil di dalam tubuhku. Sambil tak dapat menahan senyum, aku keluar kamar mandi dan menunjukkan hasil testpack itu kepada suamiku. Suamiku berucap keras, Alhamdulillah, sambil ikut tersenyum lebar. Tokcer!
Untuk menambah keyakinan kita berdua, kita datang ke salah seorang dokter kandungan senior di RS Budi Jaya di daerah Tebet. Sang dokter, tanpa ekspresi, menyatakan bahwa aku sudah hamil 8 minggu, dan sudah terlihat embrio sebesar biji kacang dalam kantung kehamilanku. Karena udah begitu seringnya kali ya ni dokter periksa ibu hamil, sampai nggak ada ekspresinya sama sekali.
Setelah tahu ada calon bayi dalam perutku, kujalani hari dengan sebaik-baiknya, sekuat tenaga dan daya upaya agar ia bisa terlahir dengan sehat dan selamat. Kebiasaanku pun terpaksa berubah. Mulai bawel kalau ada orang yang merokok di dekatku, banyak makan buah dan sayur (lebih banyak buah sih daripada sayur), mati-matian nggak makan indomie (walaupun beberapa kali kecolongan karena suamiku suka 'ngabibita' makan indomie tengah malem), mati-matian berusaha minum susu ibu hamil yang rasanya menurutku bikin mual, minum serentetan vitamin DHA dan kalsium, dengerin musik klasik, banyak sholat ngaji dan berdoa. Pokoknya semua kegiatan yang 'kata orang' seharusnya dilakukan oleh ibu hamil.
Dan luar biasa bahagianya suamiku, ketika hasil USG menunjukkan bahwa jabang bayi yang kukandung ini berkelamin laki-laki. Ia dengan bangganya mengakui bahwa Allah memang Maha Baik karena telah mengabulkan permintaannya bahwa ia menginginkan anak pertamanya seorang laki-laki. Aku sih senyum-senyum saja melihat tingkahnya yang jadi seperti anak-anak baru dibelikan mainan. Laki-laki atau perempuan yang penting dia sehat, kalo menurutku dalam hati. Lagian, ini juga baru anak pertama, apa aja nggak masalah.
Tapi ternyata, selain hasil USG yang menduga kalau anakku laki-laki, tanda-tanda lain juga muncul pada tubuhku. Kalau kata orang (lagi), biasanya hamil anak laki-laki itu bikin ibu tampak lebih jelek dari biasanya. Si ibu males mandi, males dandan, males ngapa-ngapain. Daaaan, itu memang terjadi padaku. Aku dengan luar biasanya males sekali mandi, sehari sekali juga udah alhamdulillah. Jerawat mulai muncul di sekitar wajah dan tubuhku, dan aku cuma bisa pasrah karena kata ibuku itu pengaruh homon kehamilan. Kulit di sekitar wajah leher dan perut juga terlihat menghitam, sekitar muka (bibir dan hidung) membengkak, bahkan kaki pun bisa ikut membengkak. Percaya atau tidak, setiap aku mau berdandan memakai bedak, make-up itu seperti nggak mau menempel di kulit wajahku. Alhasil aku jadi seperti lenong. Suamiku sampai kasihan melihat kondisiku. Yah, persis seperti itulah yang terjadi padaku. Jauh dari kata 'cantik'!! (Dari sononya emang nggak cantik-cantik banget, jadi implikasinya signifikan, hehe). Tapi aku tetap sabar menjalani hari-hari buruk rupa itu, demi cinta dalam rahimku. Kata orang (lagi-lagi), nanti penampilan mengerikan itu akan kembali pada kondisi normalnya.
Tapi harus kuakui, selain perubahan fisik yang mengalami downgrade, kehamilanku sebenarnya sangat tidak bermasalah. Padahal, ibuku sudah khawatir aku akan bermasalah -harus bedrest dan sebagainya- pada saat hamil, seperti yang dia alami saat mengandung anaknya dulu (aku maksudnya,hehe). Alhamdulillah, aku cuma mengalami 'ngidam' dua kali. Pertama, saat aku belum tau bahwa aku hamil. Ketika itu aku sangat amat ingin minum jus buah. Melihat didalam kulkas hanya ada tomat, akhirnya aku dengan sangat tidak biasa membuat jus tomat yang menurutku sangat lezat. Kedua, saat kandunganku berumur 4 bulan, aku yang sebelumnya tidak suka, tiba-tiba sangat mengidamkan gulai kepala ikan kakap. Aku kemudian makan satu porsi kepala ikan kakap di rumah makan padang 'Simpang Raya'. Satu porsi habis olehku sendiri, dan suamiku cuma bengong melihat istrinya tiba-tiba begitu doyan gulai kepala kakap. Aku baru tahu, ternyata ngidam itu memang bener-bener ada.
Drama buruk rupa yang merundung pada masa kehamilan pertama ini rupanya belum cukup. Pada bulan ketujuh, aku tiba-tiba terkena sakit cacar. Aku yakin, virus cacar ini menular ketika aku pergi medical check-up ke sebuah RS Umum, dan mungkin duduk sebelahan dengan pasien cacar yang baru sembuh. Dari kecil, aku memang belum pernah sakit cacar, dan mungkin aku harus merasakan juga sakit cacar ini sekali dalam hidupku. Namun, entah mengapa cacar itu datang pada saat yang sangat tidak tepat, saat sedang hamil besar. Aku sempat khawatir karena virus cacar itu bisa juga membahayakan janinku, terlebih aku harus minum obat yang agak keras untuk melawan virus cacar itu. Akhirnya aku mengungsi kerumah ibuku di bandung selama dua minggu, untuk menyembuhkan gatal-gatal dan panas di seluruh kulitku. Sembari berdoa semoga janinku tidak terkena pengaruhnya.
Bulan kesembilan tiba, dan aku sudah bersiap-siap cuti dari kantor. Aku berencana melahirkan di Bandung, sehingga seminggu sebelum duedate aku pulang ke rumah Ibu dan menunggu tanda-tanda mules itu datang. Seminggu diam dirumah, menjelang umur kehamilan 40, belum ada tanda-tanda mules atau kontraksi. Pernah ia datang sekali, tapi setelah itu tak muncul lagi. Itu yang disebut dokter sebagai kontraksi palsu. Ibu dan suamiku terus menyemangatiku untuk rajin berjalan kaki, banyak bergerak, jongkok dan mengepel lantai. Setiap pagi, aku dengan semangat terus berjalan cepat di taman kompleks, senam hamil, sambil merasa-rasa apakah mules itu akan datang. Karena sudah masuk minggu ke-40, aku berkonsultasi dengan dokterku dan mengutarakan kecemasanku. Dokterku bilang kita tunggu lagi 1 minggu karena air ketubanku masih cukup dan baik. Ia menyarankanku untuk sering berhubungan dengan suamiku. Tapi apa daya, suamiku sendiri juga nggak tega untuk melakukan ritual denganku yang berbadan seperti ikan paus, hahaha. Dokter juga memberika obat perangsang mules yang katanya bisa diminum sehari sebelum kehamilanku memasuki 41 minggu. Kalau sampai minggu depan tidak ada mules juga, maka dokter akan mengambil tindakan induksi ataupun operasi cesar jika diperlukan. Duh, ketar-ketir banget deh aku ini. Ayo, nak, jangan terlalu betah di dalam perut bunda ya.
Beberapa hari setelah kontrol ke dokter, aku masih menyempatkan diri nonton bioskop di mall. Aku ingat, film yang kutonton adalah film 2012 yang waktu itu heboh dengan praduga kiamat itu. Hari itu adalah hari senin, dua hari sebelum kehamilanku masuk 41 minggu. Aku meminta izin suamiku untuk meminum obat perangsang mules itu, tapi suamiku menyuruhku menundanya hingga hari rabu, karena ia ingin anaknya tidak lahir di hari selasa (katanya orang yang lahir di hari selasa itu agak keras kepala). Hingga akhirnya waktu tiba pada rabu istimewa itu. Aku dan suami sudah memantapkan hati, jika sampai sore ini aku tidak mules juga, aku akan meminum obat perangsang mules itu. Pagi hingga siang, semua berjalan seperti biasa. Aku masih bisa tidur siang, walaupun entah kenapa aku merasa tidak enak perut. Aku baru menyadari belakangan, mungkin itulah yang dinamakan awal-awal kontraksi.
Jam enam tepat, sebelum maghrib, aku masih sempat menyantap makan malam buatan ibuku. (Alhamdulillan, makanan ini jadi bekal tenaga). Setelah makan, aku meminum obat perangsang mules itu. Dengan harapan besok pagi aku sudah merasakan mules itu. Tapi ternyata, mules itu datang lebih cepat dari dugaan. Setengah jam kemudian, tiba-tiba perutku terasa melilit, rasanya seperti cucian yang diperas sekuat tenaga. Sakit sekali. Beberapa kali aku bolak-balik ke kamar mandi, karena kupikir aku ingin buang air besar. Tapi percuma, di kamar mandi pun aku tidak bisa menghilangkan mules ini. Aku bilang pada ibuku bahwa perutku sudah terasa mules banget, mungkin inilah sang kontraksi itu. Tapi ibuku dengan santainya bilang bahwa ini masih kontraksi awal, dan biasanya hal ini akan berlangsung lama, bahkan bisa belasan jam. Akupun kemudian berusaha santai walaupun peraasaan mules itu sungguh tak tertahan. Malah, aku masih sempat memberitahu ibuku cara update status di facebook.
Ibuku bilang, biasanya kontraksi awal itu terjadi setiap 3 atau 4 jam sekali, hingga kemudian bertambah tinggi intensitasnya menjadi 1 jam sekali, hingga nanti pada akhirnya menjadi 5 menit sekali. Namun yang kurasakan sungguh berbeda. Aku langsung merasakan kontraksi hebat itu hampir setiap lima menit sekali. Bahkan lima belas menit kemudian, flek darah sudah keluar. Ibuku keheranan, masak iya sih udah 5 menit sekali? Iya mah, sumpah deh ini sakitnya udah 5 menit sekali. Lagian ngapain juga ya aku bohong? heuheu..
Berdasar petuah dari mertuaku, jangan pergi ke Rumah Sakit sebelum ada flek darah yang keluar. Kemudian, aku putuskan menelefon mertuaku dan melaporkan keadaan, bahwa flek darah sudah mulai keluar. Mertuaku kemudian menyarankan untuk berangkat ke Rumah Sakit, katanya mungkin beberapa jam lagi kamu akan melahirkan. Saat itu sekitar jam setengah tujuh, kita putuskan untuk segera ke RS saat itu juga. Namun sayang, mobil dirumahku sedang dipakai adikku kuliah. Dan butuh waktu satu jam lagi hingga ia tiba di rumah. Ibuku seketika panik, bingung, berjalan gusar kesana kemari. "Udah, mama jangan panik. Aku yang mau ngelahirin aja, santai." Ujarku sesaat sebelum pergi ke RS, sambil cengengesan.
Akhirnya aku memutuskan mengikuti usul suamiku untuk berjalan ke Rumah Sakit yang berjarak 500m dari rumahku. Aku berjalan perlahan, dituntun oleh suamiku yang sudah siap menemaniku sejak seminggu lalu. Hampir setiap tiga menit sekali, perutku dirundung sakit yang sangat melilit. Sakitnya seratus kali lipat dari sakut perut saat menstruasi yang menurutku sebelumnya sudah sangat sakit itu. Dan setiap kali sakit itu datang, aku berhenti berjalan, terjongkok menahan sakit. Terbayanglah, berapa lama yang kubutuhkan untuk sampai di RS yang sebenarnya dekat itu. Tetanggaku yang baru pulang melihatku dan menawarkan untuk mengantarku ke RS, namun aku menolak karena aku tak ingin merepotkan. Beberapa langkah lagi aku berjalan, sakitnya semakin menjadi. Beruntunglah, ada seorang tukang becak yang lewat. Sehingga akhirnya kami berdua naik becak ke RS tersebut.
Sampai di depan pintu RS, aku mengaduh sembari menahan sakit. Sang suster tersenyum simpati, ia menyambutku dengan membawa kursi roda dan menyuruhku duduk di situ. Ia mendorongku ke ruang persalinan sembari mengingatkan bahwa ini masih awal, jadi aku harus sabar, karena semakin lama pasti akan semakin sakit. Aku cuma diam meringis kesakitan. Sampai di ruang persalinan, kemudian ia menyuruhku berbaring untuk memeriksa pembukaan leher rahimku, ini dinamakan pembukaan dalam. Aku kaget sekali karena suster itu memasukkan jarinya ke leher rahimku, dan rasanya ngilu-ngilu gimana gitu. Alangkah terkejutnya suster itu, karena ternyata pembukaanku sudah masuk di angka 8cm, alias pembukaan 8, dua tahap sebelum pembukaan penuh. Yang artinya, tak lama lagi bayiku akan lahir. Ia mengaku biasanya orang-orang baru pembukaan 1, 2 atau 3 saat pertama kali masuk RS. Apalagi, ini persalinan anak pertamaku. Ia kemudian dengan sigap memberi tahu suster lainnya untuk bersiap-siap karena sebentar lagi aku akan melahirkan. Ia mengganti pakaianku dan memperingatkanku untuk tidak mengejan sebelum bukaan lengkap. Ia juga menyuruhku tidur menyamping supaya proses pembukaan menjadi lebih cepat.
Saat itu, detik demi detik merambat sangat lambat. Sakit yang luar biasa aku rasakan di sekitar perut, pinggang, punggung dan selangkanganku. Aku merasa bayiku sudah mendorong keluar dengan begitu dahsyatnya. Aku pun sudah tak sanggup menahan sakitnya, sehingga aku beberapa kali mengejan walaupun belum waktunya. Tiga menit sekali, gelombang sakit itu datang. Setelah dua puluh hingga tiga puluh menit paling melelahkan, suster kembali datang dan mengecek pembukaanku. Kemudian ia mengatakan bahwa aku sudah siap dengan bukaan lengkap. Suster segera memanggil dokter. Sementara aku masih menahan sakit dengan menjepitkan jari-jari tanganku di ranjang. Hatiku tak henti mengucap doa dan memohon pertolongan, walaupun mulutku terkatup rapat nyaris tanpa suara. Suamiku menunggu diluar, ia tak tahan melihatku yang bersimbah darah (ceile udah kaya lagi adegan film kolosal), sementara ibuku yang baru datang memegang tanganku sembari menyemangatiku.
Dokter dihadapanku telah bersiap. Aku merasakan dorongan yang sangat kuat dari dalam rahimku, seolah-olah jabang bayi ini ingin segera keluar. Pada saat itulah, dokter berkata bahwa ia telah melihat kepala bayiku, dan menyuruhku untuk mendorong bayi keluar. Dorongan pertama belum berhasil. Karena tiba-tiba rasa itu hilang, dan dokter menyuruhku untuk berhenti mendorong. Aku meraih nafas. Tak lama, aku merasakan dorongan itu lagi. Tentunya kesempatan kali ini tak kulewatkan sia-sia. Aku mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong kepala bayiku yang cukup besar menurut dokter. Namun masih belum berhasil. Dokter mengingatkanku untuk tidak terpejam saat mengejan, khawatir akan berakibat pada kerusakan syaraf mata. Ia meminta izinku untuk menggunting sedikit jalan lahir untuk bayiku, karena aku masih kesulitan mengeluarkan kepala bayiku. Dokter khawatir aku akan kehabisan tenaga. Terdengar bunyi krek seperti orang sedang menggunting kain, tapi aku tidak merasakan apa-apa. Dokter juga menyuruh ibuku untuk membantu mendorong bayi dalam perutku, dan aku disuruh mengatur nafas. Ketika mules itu datang lagi, dokter menyuruhu mengejan dengan lebih keras, mengatupkan mulut dan membuka mataku. Dan, aku berhasil! Seketika kepala bayiku keluar, suster menyuruhku bernafas pendek-pendek untuk membiarkan tubuh bayiku keluar. Tidak sesulit sebelumnya, tubuh bayiku terasa lembek dan kenyal seperti agar-agar.
Seketika dokter mengangkat bayiku, dan mengatakan selamat karena bayiku sehat, seketika hatiku langsung dihempas gelombang bahagia penuh syukur dan haru yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku merasa begitu bersyukur atas kebaikan yang diberikan Allah SWT padaku dan anakku. Masih tak percaya bahwa akhirnya aku telah dipercaya menjadi seorang ibu. Saat melihat wajahnya yang mungil dan tanpa dosa, aku terharu sekali, ternyata aku mampu menjadi seorang ibu. Dan saat itu juga aku langsung ingin memeluk ibuku, mengucapkan terima kasih karena sekarang aku baru tau perjuangan seorang ibu saat melahirkan.
Suster kemudian menaruh bayiku tepat di atas dadaku. Kami dekat sekali. Matanya seolah memandangiku dan mengatakan halo, bunda. Ia kemudian mengemut tangan mungilnya sambil terus memandangiku. Ah, tak akan mungkin aku lupa tatapan mata pertamanya, betapa aku jatuh cinta. Tatapan indahnya meluluhkan hatiku, yang membuatku berjanji untuk selalu menjadi yang terbaik baginya. Mulut mungilnya kemudian mulai mengecap dan mencari-cari sumber susunya. Cintaku telah terlahir penuh kasih.
Takkan terlupakan. Bandung, 18 November2009. 20.30 WIB.
(Jakarta, 11 Maret 2011)