Tuesday, September 16, 2014

Wayag Raja Ampat : The Window of Heaven



Wayag on its best

Tuhan menciptakan begitu banyak tempat-tempat indah di dunia. Tapi, ketika anda melepaskan pandangan menatap hamparan Wayag dari atas bukit karang terjal, saat itulah anda akan sangat bersyukur pada Tuhan karena telah menghadiahkan cinta terindahnya pada negeri ini. Lautan bergradasi biru-tosca merendam kaki-kaki gunung karst hijau yang berjaga melingkar. Garis pantai pasir putih mengelilingi bukit-bukitnya, menambah nuansa warna-warni keindahan. Cakrawala biru luas yang digelayuti awan-awan putih keperakan, terasa mencumbu dan merengkuh bumi dengan begitu dekat. Keelokan warna, bentuk, cahaya, dan rasa yang tak terbayangkan sebelumnya. Bahkan mulut ini tak mampu menemukan lagi kata yang pantas untuk menggambarkan apa yang dilihat oleh mata.

Siapa menyangka tahun ini saya bisa kesampaian pergi ke destinasi travelling idaman. Spot terbaik di ujung timur Indonesia, Raja Ampat. Sebagai kejutan, suami saya menawarkan perjalanan ke Raja Ampat sebagai hadiah ulangtahun saya di Bulan April. Walaupun dengan berat hati harus meninggalkan anak-anak, saya akhirnya berangkat juga. Saat itu, suatu komunitas travelling sedang menawarkan paket open trip ke Raja Ampat dengan harga yang relatif murah. Sekitar 4,5juta per orang selama 5 hari dengan meeting point sorong. Dengan maskapai penerbangan yang paling murah, kami pun lantas menempuh perjalanan Jakarta – Sorong. Ya, memang perjalanan ini memaksa kami merogoh kocek cukup dalam.

Mendarat di Bandara Dominique Eduard Osok Sorong, kami bertujuh dalam rombongan langsung disambut guide perjalanan kami. Kemudian bertolak ke Waisai dengan menggunakan kapal ferry dari pelabuhan rakyat. Beberapa spot indah telah diceritakan dalam itinerary yang disiapkan. Salah satu spot yang membuat saya sangat antusias adalah Wayag. Beberapa kali saya browsing untuk mendapatkan foto Wayag, dan setiap kali itu pula saya merinding terkagum melihat keindahannya.

Naik speedboat menuju Wayag
Hari itu, kami bangun pagi-pagi sekali, menunggu kedatangan Speed Boat yang akan membawa kami ke kepulauan Wayag. Untuk sampai kesana, kami harus menempuh 5-6 jam perjalanan, tergantung arus dan cuaca. Walaupun pada saat itu Wayag sedang ditutup karena adanya sengketa antarsuku, namun guide kami memiliki cara untuk tetap dapat masuk dengan terlebih dahulu bernegosiasi di pos penjagaan.


Pantai pasir putih di pulau tempat pos penjagaan
Ketika lambung mulai mual karena goyangan kapal, guide kami menyampaikan kabar gembira bahwa kami akan segera sampai. Rasa senang saya mengalahkan pusing yang sedari tadi saya rasakan. Kami pun tiba di Teluk Kabui, jalan masuk menuju kepulauan Wayag. Bukit-bukit karang aneka bentuk atau yang biasa disebut karst mulai memenuhi pemandangan di kanan dan kiri kami. Uniknya, karst tersebut ditumbuhi rimbunnya pepohonan, seperti layaknya gunung yang tanahnya subur. Bahkan, pada karst yang berukuran kecilpun, pohon-pohon yang hidup diatasnya tampak menjulang tinggi. Warna lautan tampak  berubah kehijauan, layaknya danau tenang yang tak beriak. Awan-awan putih berkilau menggantung rendah di kejauhan. Kami bergerak semakin dalam memasuki hutan karst hijau. Sensasi keasrian alam mulai memanjakan pandangan mata. 

Teluk Kabui

Gugusan Karst
 Namun, keindahan yang saya temukan itu masih berupa pengantar saja. Terkadang kita perlu mengubah sudut pandang kita untuk mendapatkan arti keindahan yang sebenarnya. Semakin ke dalam, warna laut ternyata berubah cerah. Terlihat air aneka warna, biru muda, tosca, hijau muda, turquoise dan warna-warni lainnya. Kami pun berhenti di tepi bukit karang yang merupakan salah satu bukit yang biasa didaki untuk dapat melihat Wayag dari ketinggian.

Penampakan Wayag dari bawah

Jalur pendakian terbilang cukup curam, dengan kemiringan 70 derajat. Mendengarnya, saya cukup khawatir, tapi kami tetap naik perlahan. Guide kami memperingatkan untuk berjalan perlahan mengikutinya, menapak pada karang yang ia injak, mengingat tanah basah dan licin sisa hujan semalam. Setelah dua puluh menit mendaki perlahan, saya tertakjub pada pemandangan di pelupuk mata tepat saat saya menapakkan kaki di puncak Wayag. Pada puncak pertama ini, kita disuguhkan gradasi warna yang luar biasa indah. Dalam kondisi ini, saya benar-benar speechless. Antara terharu, bahagia, sekaligus merasa sangat kecil dihadapan Sang Kuasa.

Keindahan Wayag dari puncak 1
Belum puas kami berada di atas puncak, setengah jam kemudian guide mengajak kami untuk turun dan berpindah ke bukit karst yang lain untuk naik ke puncak yang kedua. Saat itu langit memang sudah mulai mendung, sehingga kami harus bergegas takut keburu hujan. Medan pendakian pada bukit yang kedua ini terbilang lebih ekstrem daripada yang pertama. Bukan lagi tanah, tetapi kita harus mendaki batu-batu karang yang tajam dan pipih dengan kemiringan 80 derajat. Beberapa teman memilih untuk tidak naik karena hanya guide kami tidak menyarankannya mendaki jika tidak menggunakan sepatu. Kami mulai naik, dengan kecepatan super lambat. Kami harus menahan beban tubuh dengan berpijak pada karang yang tajam, dan bergantung pada dahan pohon yang dapat diraih oleh tangan. Seumur hidup saya belum pernah naik gunung, jadi saya sangat ketakutan saat itu. Takut batu karang yang saya pijak tidak kuat menahan beban tubuh saya dan kemudian saya terjatuh. Ah, horor sekali pikiran jelek saya saat itu. Saat mendaki, seorang teman perjalanan sempat beberapa kali tergelincir, dan tergores batu karang dengan luka cukup dalam di kaki dan tangannya. Untunglah, ia masih semangat terus berjalan sampai puncak. Sepanjang perjalanan kami hanya terkagum pada beberapa penduduk lokal yang menemani kami, mereka mendaki dengan cepat dan tanpa alas kaki. Ya, tidak aneh memang, hampir setiap hari mereka menemani tamu mendaki ke puncak bukit.


Keindahan Wayag dari puncak 2

Senyum saya terkembang lebar, rasa haru sekaligus bahagia menyesap di sanubari. Sang Pencipta pasti tengah tersenyum saat melukis keindahan ini. Ia mengatur gugusan bukit karang berukuran besar berjejer rapi, berdiri melingkar menyerupai pegunungan hijau. Air yang dikelilinginya tampak tenang serupa danau tanpa ombak. Kemudian Ia menaruh secara acak gugusan karst yang berukuran lebih kecil di tengah-tengah danau penuh warna. Pasir putih memeluk bibir pantai di kaki bukit-bukit karst, memunculkan warna biru muda penuh gradasi tosca dan hijau muda pada lapisan-lapisan air. Indah, melenakan dan meluluhkan hati. Tak ingin mata ini mengerjap, berhenti memandang etalase surga yang menghampar. Sulit bagi saya menemukan satu kata yang tepat untuk mewakili kesempurnaan ini. Anda harus datang sendiri dan merasakan kenikmatannya. Kecintaan yang Tuhan lukiskan di atas negeri ini. (Ditulis untuk cerita perjalanan ReadersDigest.co.id)


Beautiful Wayag


No comments:

Post a Comment