Tuesday, September 30, 2014

Raja Ampat : Canoe di Saleo, dan Terapung di Saonek Monde





Pantai Perawan Raja Ampat
Salah satu kemewahan bagi saya adalah bisa berlibur di tempat-tempat dengan alam menawan, namun tanpa keramaian. Kemewahan itu saya rayakan ketika berada di kepulauan timur Indonesia yang masih minim terjamah manusia. Harga tiket pesawat dan akomodasi yang mahal mungkin menjadi penyebab sedikitnya pengunjung ke sana. Entah patut disayangkan atau disyukuri, tapi hal itu menurut saya sedikit banyak berpengaruh pada kondisi alam yang masih terjaga keasliannya. 




Kabupaten Raja Ampat di Papua Barat tentulah menjadi salah satu destinasi wajib bagi para penggila travelling. Berada dalam garis segitiga terumbu karang (coral triangle), Raja Ampat menjadi pusat keanekaragaman laut alam tropis terkaya yang dimiliki dunia saat ini. Keindahan alam di atas daratan dan di bawah lautan diakui sebagai yang terbaik. Dan saya beruntung menjadi salah satu yang bisa ikut menikmatinya.
Pin entrance Raja Ampat

Waktu itu adalah hari terakhir kami di Waisai, Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat. Itinerary hari itu akan diisi oleh bersantai di pulau-pulau perawan yang tersebar hampir di seluruh kepulauan. Dari 610 pulau yang ada, hanya 35 diantaranya yang berpenghuni. Yang membahagiakan adalah, setiap pulau memiliki garis pantai pasir putih bersih yang memunculkan gradasi warna air laut yang indah, antara putih-tosca muda-hijau kebiruan-biru muda-biru tua. Tak perlu repot piilh-pilih pulau mana yang paling indah dan paling perawan, karena semua sama indahnya-sama perawannya. Hmmm.. Heaven!

Speedboat penjelajah pulau





Beberapa dari ratusan pulau di Raja Ampat

Dalam itinerary saya memang tidak ada agenda untuk diving, tapi tanpa menyelam ke bawah laut pun saya sudah dibuat kagum oleh keindahan alam atas laut Raja Ampat. Pulau pertama yang kita kunjungi adalah Waiwo. Jaraknya hanya sekitar 10 menit dari pelabuhan Waisai. Disini terdapat diving resort, penginapan yang sekaligus menyediakan jasa untuk diving. Berdasarkan info, resort disini harganya paling murah diantara resort lainnya, hanya berkisar Rp 600rb per malam untuk 2 orang. Mungkin harga yang cukup terjangkau itu disebabkan wilayah ini dikelola oleh orang lokal.  Sementara resort di pulau lain, hampir semuanya dimiliki orang asing, dan tarifnya pun luar biasa, semalam sekitar 5juta! Fantastis deh, hampir sama dengan gaji saya satu bulan. 

Pepohonan yang rimbun dan tampak memenuhi pulau menjadi pemandangan pertama saya ketika tiba di pulau Waiwo ini. Terlihat sebuah jembatan panjang yang menjadi penyambut kedatangan kami. Berjalan ke dalam, terdapat gapura bertuliskan Waiwo Dive Resort. Paket diving yang ditawarkan disana pun cukup murah, hanya 300rb – 500rb per spot. Di sebelah kirinya terlihat sederetan rumah-rumah kayu yang merupakan resort yang bisa disewa oleh para tamu. Kami hanya berjalan melihat-lihat resort tersebut, dan memutuskan duduk-duduk di depan restoran yang menghadap pantai. Pepohonan di pulau ini begitu rindang, menahan sinar matahari yang pada waktu itu mulai terik. 
 
Penampakan Pulau Waiwo dari jauh

Jembatan di Pulau Waiwo

Gerbang menuju Waiwo Resort
 
Bersantai di pulau Waiwo

Rimbunnya pepohonan di Pulau Waiwo


Teman saya yang sedari tadi tidak sabar, mengajak kami untuk segera snorkeling di ujung jembatan. Beberapa orang terlihat sudah lebih dulu menceburkan diri. Kemudian kami berlari ke dermaga dan bersiap melompat dari ujung dermaga untuk menceburkan diri ke laut. Namun niat kami itu dilarang oleh penjaga di pulau itu. Ternyata di pulau itu kami tidak diperbolehkan loncat dari jembatan tersebut, karena akan membuat ikan-ikan ketakutan, sehingga menyulitkan orang-orang yang akan snorkeling atau diving. Akhirnya kami pun menurut dan memilih turun melalui tangga. Tak perlu berenang terlalu jauh, pemandangan terumbu karang berwarna warni dan ikan beraneka rupa di bawah laut sudah menyapa pandangan kami dari balik google.



Snorkeling di Waiwo

Penampakan ikan-ikan 50cm dibawah permukaan laut

Setelah puas snorkeling di Waiwo, kami beranjak ke pulau Saleo yang berjarak hanya sekitar 5 menit. Air laut jernih dengan alas pasir putih, membahagiakan hati kami yang langsung berenang dan bermain air di pinggir pantai. 




Bahagiaaa..!

Disini kami pun memutuskan untuk menyewa kano ke tengah laut sambil menikmati pemandangan laut yang tenang. Harga sewa kano disini cukup murah juga, hanya Rp 50rb untuk berdua, sepuasnya. Saya dan suami saya mendayung kano bersama. Cukup romantic tampaknya. Tapi ternyata agak sulit juga menyesuaikan gerakan kita dalam mendayung kano. Kita harus menyeimbangkan dayungan kanan dan kiri, antara orang yang di depan dan di belakang, serta mengontrol arah kano bergerak. 

Awalnya, gerakan kami sering tidak singkron. Beberapa kali kami hanya berputar-putar di tempat, dan kami pun hanya bisa pasrah menertawai kebodohan kami. Angin yang cukup kencang juga mengombang-ambingkan kano kami, untunglah ombak tidak terlalu kuat sehingga kami tak terlalu kewalahan. Seorang teman saya bahkan sempat tercebur ke laut, akibat ia mencoba mengambil dayung yang terjatuh. Kami pun hanya bisa menertawainya dari jauh, tak mampu menolong lebih banyak. Kurang lebih satu jam kami duduk di atas kano dan terpukau dengan keterasingan kami di tengah lautan luas.


Kewalahan mendayung kano
 
Pemandangan dari atas kano

Setelah menjelajahi pulau Saleo dan Waiwo, speedboat kembali bergerak dan merapat ke pulau kecil dan tersembunyi bernama Saonek Monde. Letaknya masih dekat dengan dua pulau sebelumnya. Masih dengan semangat yang sama, saya menurunkan kaki kembali di hamparan permadani pasir putih nan lembut yang terbentang sepanjang bibir pantai. Pulau seluas kurang dari 1 hektar ini tak berpenghuni. Dalam setengah jam, kita dapat berjalan kaki mengelilinya. Saat itu kami bak milyarder yang dapat merasakan nikmatnya memiliki pulau pribadi, karena hanya kami bertujuh yang ada disana. Saya membiarkan pasir putih sehalus debu dan air bening setinggi mata kaki ini merendam kaki saya, terasa lembut dan hangat di telapak kaki, membuat saya tak ingin beranjak. Air dihadapan saya ini terlihat sungguh bening, seperti air mineral kemasan yang bisa langsung diminum. Memandang lebih jauh, air bening ini pada beberapa meter didepannya berubah menjadi hijau muda, semakin jauh hingga akhirnya berwarna biru. Tanpa riak, lautan ini sungguh bagai telaga yang tenang namun sekaligus menghanyutkan. 


Pantai pasir putih Saonek Monde

Suami saya memilih berjalan menyusuri bibir pantai, memasuki celah bebatuan besar di pulau ini. Sementara saya membiarkan diri saya terapung beberapa waktu dalam kolam tanpa batas yang tenang, mendengarkan cerita air yang berdesir di telinga, menyapa putih biru cerahnya langit di hadapan mata.

 
Celah bebatuan raksasa di Saonek Monde
Terapung di Saonek Monde


Yes, we are so happy!

 Kemudian teman saya berteriak, memanggil saya untuk melompat bersama-sama dari ujung jembatan. Saya berteriak mengiyakan, kemudian berlari cepat ke ujung jembatan. Sebelumnya kami sempat bertanya pada guide apakah kami diperbolehkan untuk melompat, dan ia pun mengiyakan. Teman-teman saya sudah bersiap-siap, berbaris rapi di sisi jembatan, salah satu merelakan diri menjadi fotografer yang merekam momen penting itu. Kami kemudian menghitung bersama, 1..2..3.. kami pun berteriak dan melompat bersama. Seperti layaknya anak kecil yang selalu rindu bermain, kami bahagia sekali saat itu.




Jump just like a child
 
Tanpa terasa hari semakin siang, sebelum kembali ke Waisai, kami duduk bersantai di pinggir pantai menatap bentangan pemandangan indah di hadapan kami. “Aku nggak mau pulang”, ujar salah satu dari kami. Saya pun merasa begitu, tak ingin rasanya mengakhiri kepuasan mata yang bermanja dengan alam yang indah. Keterasingan tanpa hingar bingar dan hiruk pikuk orang ramai. Saya berjanji suatu waktu akan kembali lagi ke sini. Semoga manusia mampu terus menjaga, sehingga waktu tak akan mengurangi sedikitpun keindahannya.


High five for heaven in nature!

*tulisan ini menjadi pemenang utama Reader's Digest Travel Writing Competition 2014. :)

No comments:

Post a Comment