Beberapa minggu terakhir ini, hatiku gelisah, pikiranku ricuh berandai-andai. Setiap bangun pagi, malas langsung menyergap karena harus berangkat ke kantor. Mood kerjaku menurun drastis. Hanya ragaku yang setiap hari terpaksa menjalani rutinitas pekerjaanku, tapi jiwaku tidak.
Aku semakin gundah. Sampai kapan aku harus menjalani rutinitas ini?
Entah mengapa, setelah cuti selama seminggu, tidak mampu mendongkrak semangat kerjaku, malah membuatku tak ingin kembali ke kantor.
Dirumah, aku bisa bangun lebih pagi, tanpa rasa malas, excited karena akan memasak menu-menu baru. Sisa waktu lainnya kuhabiskan untuk bermain dan menemani aktivitas aqqil. Yap, tanpa target kerja, tugas yang menumpuk, dan rasa bersalah karena harus meninggalkan aqqil. Kurasa tak ada yang lebih kuinginkan dari hal ini.
Saat aku mulai mendamba kehidupanku dirumah. Hatiku dirundung galau. Apakah aku harus keluar dari pekerjaanku saat ini?
Pertanyaan itu pernah juga kulontarkan kepada suamiku. Betapa aku sudah sangat tidak betah berada di kantor. Betapa aku ingin menghabiskan waktu dirumah bersama anak kesayanganku. Betapa aku selama ini tersiksa karena tak mampu mengurus anakku dengan tanganku sendiri. "Aqqil itu anak Ayah ya, bukan anak Bunda," "Bunda nya wanita karir sih," Ucapan itu tak ayal membuat telingaku panas.
Suamiku tak melarang, pun tak menyuruh. Ia mengajakku untuk berpikir jernih. Kalau itu memang yang terbaik menurutku, ia akan mendukung.
Kembali, aku larut dalam kebimbangan. Pertanyaan yang sama berputar-putar di kepala. Haruskah aku resign? ah, tapi aku masih belum berani melakukannya.
Beberapa hari yang lalu, aku tersadar. Aku tertunduk malu pada kebesaran suatu Zat, dimana angin takkan mampu bertiup, jika tanpa kehendak-Nya. Bagaimana mungkin aku tak mampu mensyukuri nikmat-Nya untukku? Nikmat yang diberikannya khusus untuk diriku, bukan orang lain.
Nikmat kesehatan sebagai istri, ibu sekaligus pelayan bangsa.
Nikmat ibadah dalam tanggung jawab ilmu yang bermanfaat.
Nikmat rezeki yang tak henti mengalir.
Nikmat berbagi aliran rezeki itu dengan saudara dan kawan.
Nikmat kemurahan hati pada anak-anak yatim dan papa.
Nikmat dalam senyum orang-orang yang kita kasihi.
Dalam gelora nikmat dariNya, mengapa aku hanya meratap egoisme ku sendiri?
Astagfirullahal'adzim.
Duhai Tuhan, ku membantah pertanda-Mu lagi.
فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
"Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?"
Ya Allah, Maha Pemilik Segala Hati. Ampunilah kesombongan kami. Kaki dan tangan ini hanyalah milik-Mu. Bahkan degup jantung ini pun karena cinta-Mu. Cinta pada sesama mahluk-Mu.
”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah ? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan."
Aku semakin gundah. Sampai kapan aku harus menjalani rutinitas ini?
Entah mengapa, setelah cuti selama seminggu, tidak mampu mendongkrak semangat kerjaku, malah membuatku tak ingin kembali ke kantor.
Dirumah, aku bisa bangun lebih pagi, tanpa rasa malas, excited karena akan memasak menu-menu baru. Sisa waktu lainnya kuhabiskan untuk bermain dan menemani aktivitas aqqil. Yap, tanpa target kerja, tugas yang menumpuk, dan rasa bersalah karena harus meninggalkan aqqil. Kurasa tak ada yang lebih kuinginkan dari hal ini.
Saat aku mulai mendamba kehidupanku dirumah. Hatiku dirundung galau. Apakah aku harus keluar dari pekerjaanku saat ini?
Pertanyaan itu pernah juga kulontarkan kepada suamiku. Betapa aku sudah sangat tidak betah berada di kantor. Betapa aku ingin menghabiskan waktu dirumah bersama anak kesayanganku. Betapa aku selama ini tersiksa karena tak mampu mengurus anakku dengan tanganku sendiri. "Aqqil itu anak Ayah ya, bukan anak Bunda," "Bunda nya wanita karir sih," Ucapan itu tak ayal membuat telingaku panas.
Suamiku tak melarang, pun tak menyuruh. Ia mengajakku untuk berpikir jernih. Kalau itu memang yang terbaik menurutku, ia akan mendukung.
Kembali, aku larut dalam kebimbangan. Pertanyaan yang sama berputar-putar di kepala. Haruskah aku resign? ah, tapi aku masih belum berani melakukannya.
Beberapa hari yang lalu, aku tersadar. Aku tertunduk malu pada kebesaran suatu Zat, dimana angin takkan mampu bertiup, jika tanpa kehendak-Nya. Bagaimana mungkin aku tak mampu mensyukuri nikmat-Nya untukku? Nikmat yang diberikannya khusus untuk diriku, bukan orang lain.
Nikmat kesehatan sebagai istri, ibu sekaligus pelayan bangsa.
Nikmat ibadah dalam tanggung jawab ilmu yang bermanfaat.
Nikmat rezeki yang tak henti mengalir.
Nikmat berbagi aliran rezeki itu dengan saudara dan kawan.
Nikmat kemurahan hati pada anak-anak yatim dan papa.
Nikmat dalam senyum orang-orang yang kita kasihi.
Dalam gelora nikmat dariNya, mengapa aku hanya meratap egoisme ku sendiri?
Astagfirullahal'adzim.
Duhai Tuhan, ku membantah pertanda-Mu lagi.
فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
"Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?"
Ya Allah, Maha Pemilik Segala Hati. Ampunilah kesombongan kami. Kaki dan tangan ini hanyalah milik-Mu. Bahkan degup jantung ini pun karena cinta-Mu. Cinta pada sesama mahluk-Mu.
”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah ? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan."
No comments:
Post a Comment