 |
Pantai Perawan Raja Ampat |
|
Salah satu kemewahan bagi saya adalah bisa berlibur di
tempat-tempat dengan alam menawan, namun tanpa keramaian. Kemewahan itu saya
rayakan ketika berada di kepulauan timur Indonesia yang masih minim terjamah
manusia. Harga tiket pesawat dan akomodasi yang mahal mungkin menjadi penyebab
sedikitnya pengunjung ke sana. Entah patut disayangkan atau disyukuri, tapi hal
itu menurut saya sedikit banyak berpengaruh pada kondisi alam yang masih
terjaga keasliannya.
Kabupaten Raja Ampat di Papua Barat tentulah menjadi
salah satu destinasi wajib bagi para penggila travelling. Berada dalam garis
segitiga terumbu karang (coral triangle), Raja Ampat menjadi pusat
keanekaragaman laut alam tropis terkaya yang dimiliki dunia saat ini.
Keindahan alam di atas daratan dan di bawah lautan diakui sebagai yang terbaik.
Dan saya beruntung menjadi salah satu yang bisa ikut menikmatinya.
 |
Pin entrance Raja Ampat |
Waktu itu adalah hari terakhir kami di Waisai, Ibu Kota Kabupaten
Raja Ampat. Itinerary hari itu akan diisi oleh bersantai di pulau-pulau perawan
yang tersebar hampir di seluruh kepulauan. Dari 610 pulau yang ada, hanya 35
diantaranya yang berpenghuni. Yang membahagiakan adalah, setiap pulau memiliki
garis pantai pasir putih bersih yang memunculkan gradasi warna air laut yang
indah, antara putih-tosca muda-hijau kebiruan-biru muda-biru tua. Tak perlu
repot piilh-pilih pulau mana yang paling indah dan paling perawan, karena semua
sama indahnya-sama perawannya. Hmmm.. Heaven!
 |
Speedboat penjelajah pulau |
 |
Beberapa dari ratusan pulau di Raja Ampat |
Dalam itinerary saya memang tidak ada agenda untuk diving, tapi tanpa menyelam ke bawah
laut pun saya sudah dibuat kagum oleh keindahan alam atas laut Raja Ampat. Pulau
pertama yang kita kunjungi adalah Waiwo. Jaraknya hanya sekitar 10 menit dari
pelabuhan Waisai. Disini terdapat diving
resort, penginapan yang sekaligus
menyediakan jasa untuk diving.
Berdasarkan info, resort disini harganya paling murah diantara resort lainnya, hanya
berkisar Rp 600rb per malam untuk 2 orang. Mungkin harga yang cukup terjangkau itu disebabkan wilayah ini dikelola oleh orang lokal. Sementara
resort di pulau lain, hampir semuanya dimiliki orang
asing, dan tarifnya
pun luar biasa, semalam sekitar 5juta! Fantastis deh, hampir sama dengan gaji
saya satu bulan.
Pepohonan yang rimbun dan tampak memenuhi pulau menjadi
pemandangan pertama saya ketika tiba di pulau Waiwo ini. Terlihat sebuah jembatan panjang yang
menjadi penyambut kedatangan kami. Berjalan ke dalam, terdapat gapura
bertuliskan Waiwo Dive Resort. Paket diving yang ditawarkan disana pun cukup murah, hanya
300rb – 500rb per spot. Di sebelah kirinya terlihat sederetan rumah-rumah kayu
yang merupakan resort yang bisa disewa oleh para tamu. Kami hanya berjalan
melihat-lihat resort tersebut, dan memutuskan duduk-duduk di depan restoran
yang menghadap pantai. Pepohonan di pulau ini begitu rindang, menahan sinar
matahari yang pada waktu itu mulai terik.
 |
Penampakan Pulau Waiwo dari jauh |
 |
Jembatan di Pulau Waiwo |
 |
Gerbang menuju Waiwo Resort |
 |
Bersantai di pulau Waiwo |
 |
Rimbunnya pepohonan di Pulau Waiwo |
Teman saya yang sedari tadi tidak sabar, mengajak kami
untuk segera snorkeling
di ujung jembatan. Beberapa orang terlihat sudah lebih dulu menceburkan diri. Kemudian
kami berlari ke dermaga dan bersiap melompat dari ujung dermaga untuk
menceburkan diri ke laut. Namun niat kami itu dilarang oleh penjaga di pulau
itu. Ternyata di pulau itu kami tidak diperbolehkan loncat dari jembatan tersebut, karena akan
membuat ikan-ikan ketakutan,
sehingga menyulitkan orang-orang yang akan snorkeling atau diving. Akhirnya kami pun menurut
dan memilih turun melalui tangga. Tak perlu berenang
terlalu jauh, pemandangan terumbu karang berwarna warni dan ikan beraneka rupa
di bawah laut sudah menyapa pandangan kami dari balik google.
 |
Snorkeling di Waiwo |
 |
Penampakan ikan-ikan 50cm dibawah permukaan laut |
Setelah puas snorkeling di Waiwo, kami beranjak ke pulau
Saleo yang berjarak hanya sekitar 5 menit. Air laut jernih dengan alas pasir
putih, membahagiakan hati kami yang langsung
berenang dan bermain air di pinggir pantai.
 |
Bahagiaaa..! |
Disini kami pun
memutuskan untuk menyewa kano ke tengah laut sambil menikmati pemandangan laut
yang tenang. Harga sewa kano disini cukup murah juga, hanya Rp 50rb untuk
berdua, sepuasnya. Saya dan suami
saya mendayung kano bersama. Cukup romantic tampaknya. Tapi ternyata agak sulit juga menyesuaikan
gerakan kita dalam mendayung kano. Kita harus menyeimbangkan dayungan kanan dan kiri, antara orang yang di depan dan di belakang,
serta mengontrol arah kano bergerak.
Awalnya, gerakan kami sering tidak singkron. Beberapa kali kami hanya
berputar-putar di tempat, dan kami pun hanya bisa pasrah menertawai kebodohan
kami. Angin yang cukup kencang juga mengombang-ambingkan kano kami, untunglah
ombak tidak terlalu kuat sehingga kami tak terlalu kewalahan. Seorang teman
saya bahkan sempat tercebur ke laut, akibat ia mencoba mengambil dayung yang
terjatuh. Kami pun hanya bisa menertawainya dari jauh, tak mampu menolong lebih
banyak. Kurang lebih satu jam kami duduk di atas kano dan terpukau dengan
keterasingan kami di tengah lautan luas.
 |
Kewalahan mendayung kano |
 |
Pemandangan dari atas kano |
Setelah menjelajahi pulau Saleo dan Waiwo, speedboat kembali bergerak
dan merapat ke pulau kecil dan tersembunyi bernama Saonek Monde. Letaknya masih
dekat dengan dua pulau sebelumnya. Masih
dengan semangat yang sama, saya menurunkan kaki kembali di
hamparan permadani pasir putih nan lembut yang terbentang sepanjang bibir
pantai. Pulau seluas kurang dari 1 hektar ini tak berpenghuni. Dalam setengah
jam, kita dapat berjalan kaki mengelilinya. Saat itu kami bak milyarder yang
dapat merasakan nikmatnya memiliki pulau pribadi, karena hanya kami bertujuh
yang ada disana. Saya membiarkan pasir putih sehalus debu dan air bening
setinggi mata kaki ini merendam kaki saya, terasa lembut dan hangat di telapak
kaki, membuat saya tak ingin beranjak. Air dihadapan saya ini terlihat sungguh
bening, seperti air mineral kemasan yang bisa langsung diminum. Memandang lebih
jauh, air bening ini pada beberapa meter didepannya berubah menjadi hijau muda,
semakin jauh hingga akhirnya berwarna biru. Tanpa riak, lautan ini sungguh
bagai telaga yang tenang namun
sekaligus menghanyutkan.


 |
Pantai pasir putih Saonek Monde |
Suami saya memilih berjalan menyusuri
bibir pantai, memasuki celah bebatuan besar di pulau ini. Sementara saya
membiarkan diri saya terapung beberapa waktu dalam kolam tanpa batas yang tenang,
mendengarkan cerita air yang
berdesir di telinga, menyapa putih biru cerahnya langit di
hadapan mata.
 |
Celah bebatuan raksasa di Saonek Monde |
 |
Terapung di Saonek Monde |
 |
Yes, we are so happy! |
Kemudian teman saya berteriak, memanggil saya untuk
melompat bersama-sama dari ujung jembatan. Saya berteriak mengiyakan, kemudian
berlari cepat ke ujung jembatan. Sebelumnya
kami sempat bertanya pada guide
apakah kami diperbolehkan untuk melompat, dan ia pun mengiyakan. Teman-teman saya sudah bersiap-siap, berbaris rapi di sisi jembatan,
salah satu merelakan diri menjadi fotografer yang merekam momen penting itu.
Kami kemudian menghitung bersama, 1..2..3.. kami pun berteriak dan melompat
bersama. Seperti layaknya anak kecil yang selalu rindu bermain, kami bahagia
sekali saat itu.
 |
Jump just like a child |
Tanpa terasa hari semakin siang, sebelum kembali ke Waisai, kami duduk bersantai di pinggir pantai menatap bentangan pemandangan indah
di hadapan kami. “Aku nggak mau pulang”, ujar salah satu dari kami. Saya pun
merasa begitu, tak ingin rasanya mengakhiri kepuasan mata yang bermanja dengan
alam yang indah. Keterasingan tanpa hingar bingar dan hiruk pikuk orang ramai.
Saya berjanji suatu waktu akan kembali lagi ke sini. Semoga manusia mampu terus
menjaga, sehingga waktu tak akan mengurangi sedikitpun keindahannya.
 |
High five for heaven in nature! |
*tulisan ini menjadi pemenang utama Reader's Digest Travel Writing Competition 2014. :)