Thursday, January 28, 2016

Cerita di Meja Makan

Makan, pada saat ini, bukan hanya persoalan mengubah lapar jadi kenyang. Silaturahmi keluarga, kumpul teman sekolah, negosiasi bisnis, hingga pertemuan pejabat negara selalu difasilitasi dengan jamuan makan. Makan bersama ibarat strategi menghangatkan suasana, sehingga siapapun yang terlibat menjadi lebih santai dan terbuka untuk saling bertukar cerita dan pemahaman.

Saat saya kecil, ada juga kebiasaan makan bersama yang tak bisa saya lupakan. Setiap malam setelah makan, kami sekeluarga terbiasa duduk lebih lama di depan meja makan. Sambil menunggu makanan turun dari kerongkongan, atau sambil menunggu Ibu mengupas buah, kami bercerita tentang banyak hal. Kebersamaan yang sekilas sederhana, namun -baru saya sadari- menjadi strategi Bapak untuk mendidik anak-anaknya.

Bapak sering bercerita tentang masa kecilnya yang sulit, atau tentang usaha gigihnya menyelesaikan kuliah sambil berdagang minuman dingin. Terkadang, Bapak hanya melempar cerita santai dan jenaka. Lain waktu, Bapak juga mengeksplorasi minat kami atau cara mencapai cita-cita. Sesekali kami juga terlibat dalam kontemplasi, perdebatan akan nilai baik dan buruk dalam cerita. Dan ajaibnya, banyak dari cerita tersebut yang masih saya ingat hingga saat ini.

Cerita memang bisa dimaknai banyak hal. Cerita bisa menjadi tuturan yang membentangkan banyak nilai dan pelajaran. Nilai dalam sebuah cerita akan menetap dalam sistem kecerdasan-khususnya anak, yang berguna dalam proses pengambilan keputusan selanjutnya. Bahkan, penelitian membuktikan bahwa anak yang sering dididik melalui cerita memiliki perbendaharaan kata yang lebih kaya (Whitehurst et al, 1998), kemampuan narasi dan ingatan yang lebih baik (Reese & Newcombe, 2007) dan kecerdasan emosi yang lebih mendalam (Van Bergen et al, 2009).

Sebagai orang tua, kini saya berkaca pada diri sendiri. Rasanya jarang saya melakukan momen sederhana namun sarat makna seperti yang Bapak saya hadirkan dulu. Seringkali sulit untuk makan bersama karena pekerjaan kantor yang membuat pulang larut, atau karena agenda makan malam sudah dihapus dari jadwal rutin. Terkadang juga sulit untuk terlibat dalam cerita bersama, karena tempat makan kini telah bergeser ke depan televisi, atau bunyi notifikasi grup whatsapp yang lebih menyita perhatian pada saat makan.


Mengutip iklan sebuah produk teh, tampaknya momen kebersamaan keluarga tak boleh lagi dilewatkan. Bersama, tidak hanya hadir secara fisik, tapi juga secara jiwa. Bukan mewah tidaknya makanan, tapi hangat atau tidaknya percakapan. Entah melalui secangkir teh atau makan malam, cerita di antara anggota keluarga harus terus mengalir, mendekatkan dan mengajarkan.  

**Kolom renungan Media Keuangan Edisi Januari 2016.

No comments:

Post a Comment