Makan, pada saat ini, bukan hanya
persoalan mengubah lapar jadi kenyang. Silaturahmi keluarga, kumpul teman
sekolah, negosiasi bisnis, hingga pertemuan pejabat negara selalu difasilitasi
dengan jamuan makan. Makan bersama ibarat strategi menghangatkan suasana,
sehingga siapapun yang terlibat menjadi lebih santai dan terbuka untuk saling bertukar
cerita dan pemahaman.
Saat saya kecil, ada juga
kebiasaan makan bersama yang tak bisa saya lupakan. Setiap malam setelah makan,
kami sekeluarga terbiasa duduk lebih lama di depan meja makan. Sambil menunggu
makanan turun dari kerongkongan, atau sambil menunggu Ibu mengupas buah, kami bercerita
tentang banyak hal. Kebersamaan yang sekilas sederhana, namun -baru saya sadari-
menjadi strategi Bapak untuk mendidik anak-anaknya.
Bapak sering bercerita tentang
masa kecilnya yang sulit, atau tentang usaha gigihnya menyelesaikan kuliah
sambil berdagang minuman dingin. Terkadang, Bapak hanya melempar cerita santai
dan jenaka. Lain waktu, Bapak juga mengeksplorasi minat kami atau cara mencapai
cita-cita. Sesekali kami juga terlibat dalam kontemplasi, perdebatan akan nilai
baik dan buruk dalam cerita. Dan ajaibnya, banyak dari cerita tersebut yang
masih saya ingat hingga saat ini.
Cerita memang bisa dimaknai
banyak hal. Cerita bisa menjadi tuturan yang membentangkan banyak nilai dan
pelajaran. Nilai dalam sebuah cerita akan menetap dalam sistem
kecerdasan-khususnya anak, yang berguna dalam proses pengambilan keputusan
selanjutnya. Bahkan, penelitian membuktikan bahwa anak yang sering dididik
melalui cerita memiliki perbendaharaan kata yang lebih kaya (Whitehurst et al,
1998), kemampuan narasi dan ingatan yang lebih baik (Reese & Newcombe,
2007) dan kecerdasan emosi yang lebih mendalam (Van Bergen et al, 2009).
Sebagai orang tua, kini saya
berkaca pada diri sendiri. Rasanya jarang saya melakukan momen sederhana namun
sarat makna seperti yang Bapak saya hadirkan dulu. Seringkali sulit untuk makan
bersama karena pekerjaan kantor yang membuat pulang larut, atau karena agenda
makan malam sudah dihapus dari jadwal rutin. Terkadang juga sulit untuk terlibat
dalam cerita bersama, karena tempat makan kini telah bergeser ke depan
televisi, atau bunyi notifikasi grup whatsapp yang lebih menyita perhatian pada
saat makan.
Mengutip iklan sebuah produk teh,
tampaknya momen kebersamaan keluarga tak boleh lagi dilewatkan. Bersama, tidak
hanya hadir secara fisik, tapi juga secara jiwa. Bukan mewah tidaknya makanan,
tapi hangat atau tidaknya percakapan. Entah melalui secangkir teh atau makan
malam, cerita di antara anggota keluarga harus terus mengalir, mendekatkan dan
mengajarkan.
**Kolom renungan Media Keuangan Edisi Januari 2016.
No comments:
Post a Comment