Anak perempuanku ini kuberi nama Almahyra Rumaisha Putri, yang artinya Putri yang pandai dan beruntung serta membawa kedamaian. Panggilannya Aisha, yang artinya hidup, penerang, adopsi dari nama istri nabi Rasulullah, siti Aisyah Ra. Suamiku agak protes dengan nama yang kuambil ini, karena harusnya nama anak perempuan kita diawali oleh huruf M, seperti nama ayahnya. (Maaf ya sayang, hehe)
Aisha lahir Mei tahun 2012 lalu, sekarang usianya sudah hampir 3 tahun. Karena kesibukan bundanya yang luar biasa, jadi baru sekarang lah saat yang sempat dan tepat untuk menulis cerita saat ia masih di dalam kandungan.
Seperti kehamilan sebelumnya, aku baru tahu bahwa ada janin dalam perutku waktu ia berusia 7 minggu. Aku memang terlalu cuek untuk urusan siklus menstruasi yang sering tak teratur. Suatu pagi aku mual luar biasa dan memuntahkan cairan kuning dari lambungku. Tak perlu pikir dua kali, aku tahu bahwa aku pasti hamil. Gejala itu juga yg kurasakan waktu hamil aqqil dulu.
Suamiku bahagia mendengar kabar kehamilanku. Walaupun sedikit lebih cepat dari rencana, tapi ia sudah antusias karena ingin memiliki anak perempuan. (Ini ayah emang paling ge-er, padahal waktu itu blm ketauan juga jenis kelamin bayinya apa). Syukur alhamdulillah, aku masih diberi kesempatan jadi bumil perkasa pada kehamilan keduaku ini. Tanpa mual muntah yang berlebihan, aku santai sekali dan menikmati kehamilanku.
Memasuki bulan keempat, aku dan suamiku tak sabar ingin melihat jenis kelamin anak dalam perutku. Tapi, bayiku rupanya senang becanda. Saat di USG, dia malah tidur membelakangi kami dan tak mau bergerak bahkan ketika sang dokter mencoba mengubah posisinya. Okelah, tak apa, kami bersabar dulu sampai bulan depan, pikirku. Yang penting bayi kami sehat. Detak jantung dan organ2 mulai berkembang dengan normal. Alhamdulillah.
Saat sedang hamil 5 bulan, aku pun sedang mencoba peruntungan untuk mengikuti seleksi beasiswa. Hampir setiap hari aku belajar matematika dan hal-hal lainnya demi bisa lulus tes potensi akademik. Bahkan, aku sampai niat mengikuti semacam les untuk mengasah kemampuan tpa ku di bilangan lebak bulus. Bayiku tak pernah protes, ia tampaknya ikut tertantang dengan berbagai rumus yang dipelajari bundanya. Hasilnya, ketika mengikuti tes oto-bappenas, nilai tpa ku mencapai angka 701! Waw, sangat tinggi karena rentang angkanya adalah 200-800.
Alhamdulillah berkat kegigihan aku dan bayiku, serta dorongan semangat suamiku, aku berhasil mendapatkan beasiswa S2 dari JICA. Karena yang kupilih adalah beasiswa dalam negeri, aku pun memilih jurusan ilmu komunikasi universitas indonesia, supaya tidak harus berjauhan dengan suami dan anakku. Waktu itu tes gelombang 1 sudah lama digelar, aku hanya memiliki kesempatan terakhir pada tes gelombang 2. Aku hampir putus asa ketika mengetahui bahwa jatah kursi kosong untuk jurusan komunikasi pada gelombang kedua itu hanya ada dua kursi! Untunglah, lagi-lagi aku berhasil mendapatkannya. Sepertinya, bayiku ini membuatku lebih pintar dan beruntung, hehe. Semoga kamu juga tumbuh menjadi anak yang cerdas dan beruntung ya nak!
Terlepas dari nasib baik tentang beasiswa itu, aku masih belum bernasib baik untuk mengetahui jenis kelamin bayiku. Hingga usia tujuh bulan, setiap kali kami USG, ada saja ulah yang bayi kami lakukan untuk menutupi informasi yang sangat kami ingin ketahui. Hahaha. Bayiku ini senang sekali ngerjain ayah bundanya. Tapi, entah kenapa, aku sangat yakin bahwa janin yang aku kandung ini perempuan. Kenapa? Karena penampilanku jauh berbeda dengan kehamilan anak laki-lakiku dulu. Aku tampak lebih cantik, tidak berjerawat, tidak muncul bintik hitam, tidak bengkak-bengkak, dan aku tidak terlalu rakus. Bismillah, semoga firasatku itu benar, begitulah aku sering berdoa dalam hati. Suamiku juga sering ikut-ikutan menganalisa perbedaan kehamilanku yang pertama dan kedua ini, dan kesimpulan yang ia ambil sama denganku.
Akhirnya, pada bulan ketujuh, aku bisa sedikit mengintip. Kata dokter, tidak ada menaranya. Aku dan suamiku pun tersenyum lebar. Bahagia akan memiliki gadis kecil yang melengkapi kebahagiaan keluarga kecil kami. Terus terang, karena tidak mengalami masalah saat kehamilan. Boleh dibilang aku masuh sangat aktif menjalani hari-hariku di kantor. Aku bahkan masing sering diminta menjadi MC walaupun badanku saat itu sudah terlihat gendut seperi badut, haha. Aku juga masih bepergian ke luar negeri saat mengandung aisha 6 bulan, jalan-jalan bersama suami dan mertuaku ke Macau dan Hongkong.
Tanpa terasa, usia kehamilanku menuju 9 bulan. Beberapa minggu sebelum duedate, aku sudah pulang ke rumah ibuku di bandung. Aku masih ingin melahirkan di sana. Lebih nyaman rasanya. Memang nampaknya aku memang hamil kebo, sampai usia 40 belum ada tanda-tanda mules sama sekali. Waktu itu aku sempat memeriksakan diriku ke RS Al Islam. Dokter menyuruhku untuk tes detak jantung bayi karena menurutnya denyut bayiku lemah sekali. Aku juga dimarahi karena susah makan, yang menyebabkan bayiku pada saat itu hanya mencapai 2,1kg. Jika demikian, bayi yang aku lahirkan bisa prematur! Aku sedih sekali. Untunglah hasil denyut jantungnya masih cukup baik. Aku disuruh pulang dan kembali minggu depan, jika belum ada mules terpaksa induksi atau sectio. Aku sangat tidak menginginkan keduanya. Aku pun kemudian makan berbagai macam es krim, kue dan cokelat untuk mengejar berat badan bayiku.
Akhirnya aku kembali ke klinik bersalin Harapan Bunda tempat aku cek sebelumnya. Aku mengubah rencanaku untuk tetap melahirkan di klinik bersalin ini. Selain karena aku sudah cocok dengan dokternya, aku juga sudah familiar dengan prosedur melahirkan di sana. Aku dan anak pertamaku masih terus menunggu waktu kelahiran anak keduaku, sementara suamiku harus kembali ke jakarta karena banyak pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan.
Tibalah saatnya aku merasa mules. Sejak semalam, mules-mules kecil sudah mulai terasa. Tapi aku tak banyak bicara dulu pada mamaku, takut-takut itu hanya kontraksi palsu. Ternyata, paginya mules-mules itu sudah hilang. Palsu! Sudah 41 minggu, ini waktunya aku kontrol lagi dengan dokterku di klinik bersalin harapan bunda. Aku sudah hampir putus asa.
Waktu itu jam11, aku di antar ibuku dan anak pertamaku. Dokter yang memeriksaku menanyakan apakah tidak ada mules sama sekali? Aku bilang, tadi malam ada mules tapi pagi hilang. Menurutnya, bisa saja itu sudah masuk pembukaan satu atau dua. Kemudian ia memutuskan untuk memeriksa pembukaan jalan lahir. Ternyata, menurut dokter itu, aku sudah pembukaan tiga. Anehnya, aku tidak merasakan mules sama sekali. Mungkin ada sih, tapi sangat ringan sekali. Menurut dokter, jika dibantu dibuka sedikit, ini akan langsung masuk pembukaan empat. Dan benar saja, menurutnya aku sudah masuk pembukaan empat, dan harus langsung masuk ruang bersalin.
Tapi aku merasa aku masih baik-baik saja. Jadi kuputuskan untuk kembali dulu ke rumah, membawa barang-barang dan akan kembali lagi ke rumah sakit secepatnya. Dokter pun mewanti-wanti agar tidak terlalu lama. Aku kemudian pulang, saat itu aku menakar tingkat kemulesanku. Dan menurutku masih ringan. Aku menelepon suamiku dan memberitahukan kalau aku sudah pembukaan empat, mungkin sore ini akan melahirkan. Ia pun berjanji akan langsung berangkat ke bandung saat itu juga. Kemudian aku menyuapi aqqil makan siang. Aku pun menyiapkan tas yang akan ku bawa ke rumah sakit. Kemudian aku juga masih sempat sholat dzuhur. Sebelum berangkat ke rumah sakit, aku juga masih sempat ngelonin aqqil bobo siang. Jam 13.30, aku memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, aku melihat ada sedikit flek di pakaian dalamku, dan tingkat mulesnya sudah mulai terasa, walaupun menurutku tetap belum terlalu sakit.
Aku kemudian diajak suster untuk masuk ruangan bersalin. Ketika suster memeriksaku, aku sudah memasuki pembukaan enam. Suster itu meyuruhku tiduran saja. Gak boleh jalan-jalan ya sus? Jangan ya, nanti takut pecah ketuban. Kemudian aku menuruti saran mereka, tiduran sambil bermain handphone, menanyakan suamiku sudah sampai mana, mengabarkan kalau aku sudah bukaan enam. Suamiku masih di jalan kala itu, aku masih sempat berhitung apakah ia bisa sampai sebelum aku melahirkan, rasanya ia akan telat, batinku. Suster yang agak heran melihat tingkahku menanyakan apakah aku tidak merasa sakit? Aku hanya tersenyum santai, sakit sih sus, tapi gak sakit banget. Dia bilang biasanya kalau ibu-ibu yang lain sudah menjerit-jerit bahkan dari saat pembukaan satu. Aku hanya nyengir. Karena sungguh memang aku belum merasa sakit yang teramat sangat.
Kemudian dokterku datang, ia baru saja selesai memeriksa pasirn terakhirnya. Waktu itu jam 14.30. Pembukaanku masih enam menuju tujuh. Sang dokter menanyakan hal yang sama padaku, ibu nggak sakit? Aku hanya nyengir, lagi. Kemudian ia memutuskan untuk memberiku obat perangsang mules. Menurutnya, akan berbahaya bila sampai pembukaan lengkap tapi aku tidak merasakan mules seperti seharusnya. Lagipula lebih cepat lebih baik, menurutnya yang sudah lelah praktek dari pagi tadi, haha.
Aku agak ragu, apakah aku harus menunggu suamiku terlebih dahulu atau tidak. Aku juga agak takut karena saat persalinan pertamaku itu, aku merasa sakit luar biasa saat diberi obat itu. Tapi akhirya aku meminumnya, setengah tablet. Dan seperti dugaanku, setelah meminum obat itu, perutku mulai merasakan mules luar biasa. Kuat sekali, dan semakin lama semakin sakit. Aku menahan sekuat tenaga agar aku tidak ngeden sebelum waktunya. Aku tak mau mengulang kesalahan persalinan pertama dulu.
Sebagai ibu beranak dua, aku boleh berbangga, karena setiap kali aku melahirkan, aku tak pernah berteriak kesakitan ataupun histeris. Setiap rasa sakit yang kurasakan aku simpan untukku sendiri, dan aku hanya menahannya dengan ucapan istigfar perlahan ataupun hembusan nafas dalam. Tanteku yang turut menemani sampai tak tega melihatku dan menyuruhku untuk berteriak kalau menang sakit. Tapi aku memilih untuk tetap diam.
Hingaa tepat pukul 15.30, aku dinyatakan pembukaan lengkap. Dokter bergegas masuk ke ruang persalinan. Saat bukaan lengkap pun, dokter tak melihat perubahan ekspresi dariku. Suamiku juga masih belum datang. Kemudian dokter memanduku untuk mengeluarkan bayi dari dalam perutku. Dengan dua kali tarikan napas, keluarlah bayi mungil itu. Dokter mengatakan bahwa aku hebat sekali, melahirkan tanpa satu kalipun berteriak kesakitan.
Alhamdulillah, bayi mungilku sudah lahir dengan berat 2,64kg dan panjang 49cm. Mama menjadi orang yang mendampingi persalinanku. Dan papa sudah menunggu di depan ruang persalinan. Ketika sudah terdengar suara tangisannya, papaku buru-buru masuk ke dalam untuk mengumandangkan adZan dan iqomah di kedua kupingnya. Tak lama kemudian ayahnya sampai di rumah sakit. Ia terharu melihat aku dan bayi perempuannya telah selamat dalam momen luar biasa itu.
Selamat datang di dunia bayi cantikku, bersinarlah untuk memberi kebaikan bagi banyak orang!